Minggu, 18 September 2011

Cahaya dibalik satu dekade September 11 Attack tragedy (Tragedi 11 September 2011)

Pasca tragedi 11 September 2001 bukanlah wajah yang ramah, terutama bagi kaum Muslim. Bukan hanya bagi warga dari negara-negara Islam, bahkan terhadap warga negaranya yang Muslim pun, AS memasang wajah ‘garang”. Data menunjukkan ada peningkatan luar biasa dalam kasus diskriminasi yang dialami umat Islam di AS pasca tragedi 9 September lalu. Tercatat 14 ribu sampai 15 ribu kasus yang ditangani CAIR (Council on American-Islamic Relations). Padahal sebelumnya hanya 300-400 kasus saja yang ditangani CAIR. Apakah yang sebenarnya terjadi?

Seorang mahasiswi berwajah Timur Tengah tampak asyik bercakap-cakap dengan rekan-rekannya di sebuah lorong Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat (AS). Sang mahasiswi jelas ia seorang muslimah karena tampil dengan kerudung terlihat serius seperti rekannya. Jika di Indonesia, pemandangan serupa bukan hal yang aneh. Namun sang muslimah berjilbab ini terlihat di sebuah universitas swasta salah satu yang terbaik dan termahal di AS dan terjadi sekitar empat bulan setelah serangan 11 September 2001 di Pentagon dan menara kembar World Trade Center (WTC).
Gambaran tersebut memang tidak mewakili seluruh umat Islam di AS. Namun kini, menguak kehidupan umat Islam di Amerika Serikat tak bisa lepas dari tragedi 11 September 2001. Potret Islam Di Amerika Serikat ini seolah ternoda oleh aksi tersebut. Tak pelak, umat Islam meski mereka tak terlibat, tidak setuju, atau malah mengutuk aksi tersebut ikut terimbas.

Sejumlah media massa melaporkan, umat Islam Di Amerika Serikat terkena “getah” serangan tersebut. Laporan diskriminasi terhadap mereka meningkat tajam dan sejumlah aksi kekerasan terhadap warga Muslim atau yang disangka Muslim terjadi beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan kematian. Bagaimanakah yang sebenarnya terjadi?
Islam adalah satu agama yang mengalami perkembangan paling pesat di AS. Bahkan pada 2010, umat Islam diperkirakan akan melampaui jumlah kaum Yahudi sebuah kalkulasi yang menurut Washington Times terkadang ditanggapi dengan cemas oleh para pemuka agama lain. Sesaat setelah tragedi 11 September 2001, luapan amarah dan kebencian sempat ditumpahkan kepada orang Islam yang dianggap sebagai pelaku tragedi tersebut. Pada beberapa kasus, umat Islam atau yang dikira Muslim bahkan mendapat gangguan tenor, baik secara fisik mau pun mental.

Tak urung, organisasi-organisasi Islam Di Amerika Serikat pun kebanjiran tugas. Selain menampung keluhan atau pengaduan jamaahnya, mereka juga harus menjadi “jembatan” yang menghubungkan antara umat Islam dan masyarakat AS lainnya. Tugas tersebut tentunya tidaklah mudah. Mereka dihadapkan pada pergulatan identitas: sebagai Muslim sekaligus sebagai warganegara AS.

• • •
Salah satu organisasi yang giat menjembatani warga Amerika dan umat Islam di AS adalah Council on American-Islamic Relations (CAIR). CAIR termasuk salah satu organisasi Islam di Amerika Serikat yang tumbuh pesat. Menurut Direktur Eksekutif CAIR Dr Nihad Awad, lembaga yang dipimpinnya kini memiliki sekitar 250 ribu anggota. Bahkan beberapa di antaranya adalah non-muslim.

“Kendala? Wah banyak sekali,” kata Awad sambil tersenyum ketika ditanya kendala yang dihadapinya setelah serangan 11 September 2001. Menurutnya, Islam adalah agama minoritas di AS sehingga tak jarang mengundang salah pengertian di kalangan masyarakat Amerika umumnya, terlebih setelah terjadi serangan 11 September. “Serangan tersebut memberi dampak pada seluruh masyarakat Amerika, tidak hanya kami. Aksi tersebut telah mengubah hidup kami, bahkan ada beberapa yang mengalami kondisi yang disebut zero tolerance. Namun, kita harus yakin bahwa Islam bukanlah sebuah ancaman keamanan,” tegasnya.

Sebelum serangan, CAIR menerima sekitar 300 hingga 400 kasus diskriminasi umat Islam di Amerika Serikat setiap tahunnya. Namun, sejak tragedi tersebut, kata Awad, “Kami menerima 14 hingga 15 ribu kasus dalam empat bulan terakhir! CAIR masih menjadi jembatan bagi umat Islam Amerika untuk memperjuangkan hak-hak sipilnya. Karena kami tidak seharusnya dihukum semata karena kami Muslim.”

Masalah diskriminasi setelah 11 September juga diakui oleh Imam Yahya Hendi, seorang cendikiawan Muslim yang mengajar di Georgetown University. Namun menurut mas- ter lulusan Yordania ini, reaksi tersebut terhitung “normal” mengingat ketidaktahuan masyarakat AS akan Islam. “Umat Islam memang sempat ketakutan. Begitu banyak rasa amarah. Begitu besarnya sikap tidak peduli pada Islam. Maka (reaksi tersebut) bisa dimengerti. Itu hal yang ‘normal’. Maka bagaimana pun, kita perlu mendidik mereka,” tutur pria kelahiran Yerusalem, Palestina, ini.

Hari-hari penuh ketakutan memang sempat mewarnai kehidupan sehari-hari umat Islam AS, termasuk di Dearborn, Michigan. Dearborn adalah sebuah daerah dengan komunitas warga Arab yang terbesar — sekitar 250 ribu orang — di AS. “Kami amat takut. Bahkan tidak pernah menyebutkan nama Usamah bin Laden di muka umum atau pun di telepon. Kami takut jika dikira sebagai pendukungnya,” tutur Intisar Alawie (16 tahun). “Ada beberapa teman saya yang karena ketakutan maka ia melepaskan jilbabnya, lantas mereka keluar dengan menggunakan baju pendek. Tapi menurut saya itu masalah pribadi,” tutur wanita belia ini sambil membetulkan letak jilbabnya. Wanita keturunan Yaman yang baru menikah ini mengakui bahwa berita mengerikan di media massa semakin menambah kekhawatiran dirinya. Namun, ketakutan tersebut ternyata makin berkurang seiring berjalannya waktu.

Seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tinggal di Detroit mengakui bahwa umat Islam kini takut memberikan dana apa pun pada kegiatan Islam, termasuk zakat sekali pun. Menurutnya, ruang gerak Muslim lebih terbatas dibandingkan sebelum 11 September. “Mereka harus berhati-hati. Kalau pun memberikan zakat, mereka tidak mau menuliskan nama mereka,” kata pria keturunan Irak yang menolak disebutkan jati dirinya ini. Akibat ketakutan ini, jumlah zakat dan infak yang digalang umat Islam pun berkurang. Sebelum tragedi 11 September, jumlah dana yang terkumpul di seluruh AS mencapai 4 juta dolar AS setiap tahunnya. Namun ia mengakui bahwa dalam kehidupan sehari-hari, warga AS bersikap ramah.

“Umumnya warga AS cukup ramah. Sehari-hari, semuanya berlangsung mulus-mulus saja,” jelasnya. Jilbab memang menjadi salah satu identitas keislaman yang menyolok di kalangan wanita Muslim. Tak jarang, jilbab menjadi masalah saat umat Islam tengah menjadi sorotan. Hal ini diakui oleh pasangan muda asal Indonesia, Fauzul (30 tahun) dan Noor Fitrie (29 tahun) yang ditemui di Masjid Al Hikmah di Queens, New York.

Sang istri, Fitrie, sempat diminta untuk membuka jilbabnya saat mereka berada disebuah bandara AS. Namun Fitrie menyatakan akan membuka jilbabnya jika di sebuah ruang tertutup. “Akhirnya petugas membatalkan permintaannya dan kami boleh lewat,” tutur Fauzul. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari jilbab tidak menjadi kendala bagi Fitrie. Ibu satu anak yang tengah mengambil program master bidang hukum di sebuah universitas di negara bagian Chicago menuturkan, “Enggak ada masalah, kok. Kita di di sini aman-aman aja.” Secara keseluruhan, tragedi 11 September memang membuat warga AS semakin ‘memperhatikan’ Islam dan umatnya.

Dampak Positif pasca tragedi 9 September 2011
Di balik sejumlah kepedihan dan kepahitan mengecap hidup sebagai Muslim di AS, serangan 11 September ternyata membuahkan hikmah. Hal ini diakui oleh para tokoh Muslim di AS. Nama Islam mungkin masih terasa asing bagi sebagian besar warga AS. Hal ini terungkap saat American Muslim Council (AMC) melakukan wawancara yang direkam melalui video. “Islam? Saya… tidak tahu,” kata seorang pria sambil tersenyum. Sedangkan seorang pria menjawab, “Setahu saya, Islam adalah agamanya orang Israel.”

Direktur AMC Aly R Abuzaakouk mengakui bahwa Islam masih asing di mata masyarakat AS. Sejak tragedi 11 September 2001, mereka seolah baru menyadari keberadaan agama ini di lingkungan mereka. “Buku-buku tentang Islam banyak terjual di mana-mana. Orang memburunya. Tapi tentu saja ada sisi positif dan sisi negatif dari semua perkembangan ini. Semakin tahu tentang Islam maka ‘musuh’ kami pun semakin mengenali kami. Jujur saja, sebab ada kelompok tertentu yang tidak menyukai kami,” tutur Abuzaakouk.

Namun bagi Abuzaakouk, sisi positifnya tentu lebih banyak. Pasalnya, orang menjadi lebih mengetahui esensi ajaran Islam. Tingginya minat terhadap Islam setelah tragedi 11 September diakui Pula oleh Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relation (CAIR), Dr Nihad Awad. “Buku yang paling laris dijual saat itu adalah buku tentang Islam, termasuk Al Quran. Ini menarik sekali. Untuk pertama kalinya ribuan warga Amerika menginjakkan kaki di masjid. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui Islam, namun sayangnya mereka banyak di kelilingi oleh opini media” kata Awad.
Imam Syamsi Ali dari Masjid Al Hikmah di Queens, New York, memiliki pengalaman unik. Pria kelahiran Indonesia ini adalah satu-satunya ulama Islam yang ditunjuk mewakili umat Islam dalam acara doa bersama yang digelar di stallion Yankee, New York, beberapa hari setelah tragedi terjadi. “Sejak serangan 11 September, kami jadi lebih banyak diundang oleh berbagai pihak untuk berbicara soal Islam. Namun dari sebelumnya pun, kami memang sudah sering diundang oleh lembaga-lembaga seperti Kepolisian New York untuk berceramah mengenai apa itu Islam — misalnya menjelang Ramadhan. Mereka ingin tahu mengenai Ramadhan dan apa saja yang bisa dilakukan atau tidak boleh dilakukan orang Islam di bulan tersebut,” papar master lulusan Pakistan, untuk bidang perbandingan agama.

Sementara Imam Yahya Hendi menyebutkan, salah satu hikmah di balik tragedi tersebut adalah banyaknya berita tentang Islam di sejumlah media, dalam empat bulan terakhir. “Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak — bahkan jika dibandingkan sejak bangsa ini (AS) berdiri 200 tahun yang lalu,” tuturnya setengah bergurau. “Kini banyak orang Amerika yang ingin tahu lebih banyak mengenai Islam,” tuturnya sambil menyebutkan bahwa is pun kebanjiran permintaan untuk mengadakan diskusi mengenai Islam di sejumlah kelompok akademisi maupun agamawan lain.
Sang imam mengakui bahwa rendahnya pengetahuan dan pendidikan menjadi salah satu masalah yang dihadapi masyarakat AS dan Barat pada umumnya. “Ini pandangan pribadi saya. Ekstrimisme itu memang ada dan kita perlu lebih mendidik umat Islam (untuk menghindari ekstrimisme),” katanya. Imam Yahya melanjutkan, “Saya yakin bahwa kita masih belum cukup mendidik orang Barat mengenai siapa kita dan apa identitas yang bukan milik kita. Salah satu contohnya, mereka tidak tahu bahwa jihad tidak selalu berarti perang.” Bagaimana pun, kata sang imam, kini umat Islam di Amerika mendapat kesempatan duduk di sejumlah lembaga. Di universitas tempatnya mengajar, misalnya, “ada 10 sampai 15 profesor Muslim yang menjadi pengajar.”

Namun, soal perang yang digelar AS untuk kampanye antiteroris, Imam Yahya memiliki pandangan lain. Menurutnya, perang bukanlah jalan satu-satunya. “Saya percaya perang bukanlah solusi yang baik karena hanya akan mengakibatkan reaksi dan kebencian,” tegasnya. Soal ada segelintir orang yang mengaitkan Islam dengan terorisme,Imam Yahya menukas, “Saya percaya bahwa terorisme tidak memiliki agama. Dan Agama tidak berhubungan dengan terorisme. Dunia internasional harus menemukan definisi mengenai terorisme.”

Fenomena menarik lainnya diungkap aktivis LSM asal Irak. Menurutnya, ada peningkatan jumlah orang yang memeluk agama Islam sejak 11 September 2001. “Sebelum 11 September, ada enam ribu orang yang masuk Islam setiap tahunnya. Setelah tragedi itu, kini jumlahnya meningkat jadi 20 ribuan clalam waktu beberapa bulan saja,” ujarnya. Sebagian besar yang tertarik menjadi Muslim adalah warga kulit hitam asal Afrika, menyusul keturunan Spanyol, dan warga kulit putih. Sayangnya, sang aktivis yang tak ingin disebut jati dirinya ini tidak memiliki data tertulis mengenai hal tersebut.

Pepatah Inggris berkata, Every cloud has a silver lining: setiap kejadian akan selalu berbuah hikmah. Mudah-mudahan, peristiwa 11 September ini dapat membawa hikmah, terutama bagi umat Islam. Imam Yahya pun berujar, “Kini kita semua harus berupaya membuat diri kita senyaman mungkin dengan nilai-nilai yang kita anut. Itulah jihad kita,”.

Filosofi Maaf-Memaafkan dalam Islam

sudah menjadi ajaran Islam untuk memanfaatkan moment Idul Fitri untuk saling memaafkan, menjalin silaturahmi, merapatkan kembali hubungan yang terenggangkan oleh masalah masalah kehidupan.
seiring dengan kemajuan teknologi, cara penyampaian permintaan maaf tersebut juga mengalami perubahan, entah hal ini dapat disebutkan sebagai sebuah kemajuan atau malah sebuah kemunduran.
SMS dari telepon selular merupakan salah satu media untuk penyampaian permintaan maaf ini, dimasa lalu, kartu lebaran juga merupakan sarana penyambung silaturahmi dimoment Idul fitri.
mari kita tanyakan pada diri kita masing-masing, apakah proses maaf memaafkan ini sudah terlaksana sebagaimana mestinya, atau hanya menjadi tradisi yang tidak bermakna dan berarti bagi kehidupan kita.
pada dasarnya manusia merupakan makluk yang egois, yang mau menang sendiri, dan merasa dirinya yang paling benar. jika rasa paling benar ini sejalan dengan pendapat individu-individu lain disekitarnya, tentu saja tidak akan terjadi friksi atau pertentangan, saling menyerang dan saling menyalahkan. tetapi dalam kenyataannya justru lebih sering terjadi pertentangan antar individu, yang menimbulkan konflik.

saling memaafkan adalah salah satu cara untuk menghilangkan konflik, tetapi karena konflik yang terjadi karena perbedaan pandangan dan pendapat, tentu saja saling memaafkan dapat diartikan menyamakan pandangan, tetapi tetap saja pendapat tersebut tidak dapat disatukan, karena masing-masing pihak merasa paling benar. meminjam konsep demokrasi, perbedaan pendapat tersebut diredakan dengan saling menghargai pendapat masing-masing, tanpa perlu menyamakan pendapat dan persepsi.
persoalannya adalah, apalah dengan saling menghargai pendapat masing-masing ini, merupakan jalan saling memaafkan, padahal kedua pendapat tersebut saling bertentangan ?
disalah satu khutbah yang pernah disampaikan dalam sebuah majelis, disampaikan bahwa ALLAH MAHA pemaaf, dan selalu menerima taubat mahluknya. tetapi agar taubat ini diterima tentu saja ada syarat-syaratnya coba simak info berikut :
Kiat Agar Taubat Diterima
Sepuluh hari yang penuh limpahan rahmat di bulan ramadhan telah kita lalui. Sepuluh hari kedepan adalah hari yang dijanjikan Allah sebagai waktu dilimpahkannya maghfirah atau ampunan. Inilah waktunya bagi kita, untuk bertaubat secara sungguh-sungguh, agar diri kita betul-betul bersih dari noda dosa masa silam. Taubat Nasuha atau taubat yang sungguh-sungguh itu memiliki beberapa syarat. Berikut syarat-syaratnya :
1. Menyesali atas dosa dan maksiat yang telah dilakukan.
Seorang hamba yang berdosa, bila ingin bertaubat harus menyesali perbuatan dosa dan maksiat yang terlanjur diperbuatnya. Tanpa perasaan menyesal, taubat kita belum bisa dikatakan nasuha atau bersungguh-sungguh.
2. Memohon ampun kepada Allah SWT, meminta maaf kepada manusia.
Bila kita kerap meninggalkan ibadah-ibadah mahdhah yang diwajibkan Allah SWT, maka mohon ampunlah kepada Allah SWT dan segeralah memperbaiki ibadah-ibadah yang sering kita lalaikan. Jika shalat masih sering diakhirkan maka segera awalkan, jika tidak pernah berpuasa maka segeralah melakukan shaum.
Untuk perkara-perkara ghayr mahdhah yang ada hubungannya dengan manusia, maka selain memohon ampun dan menyesali kedzhaliman kita, minta maaflah kepada orang yang telah kita sakiti. Bila orang itu berada jauh atau bahkan sudah meninggal, berdoalah demi kebaikannya, agar Allah menggerakkan hatinya untuk ridla terhadap apa yang telah kita perbuat. Tapi jika orang tersebut mudah untuk diajak bertatap muka dan mudah kita kunjungi, maka lebih utama bila kita mendatanginya untuk meminta maaf.
3. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa atau maksiat serupa.
Niatkan dalam hati untuk tidak mengulangi dosa atau maksiat serupa. Sibukkan diri kita dengan memperbaiki ibadah mahdhah dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Sehingga seluruh panca indera dan jiwa kita terbiasa melakukan kebaikan.
Taubat merupakan bentuk permintaan maaf kepada SANG PENCIPTA. ALLAH yang MAHA pemaaf saja telah menetapkan syarat-syarat agar permintaan maaf atau taubat diterima, apalagi manusia sebagai makluk yang memiliki rasa egosentris yang tinggi, akan menuntut hal yang lebih, karena merasa paling benar…tentu saja permintaan maaf antar makluk ini, dapat saja di asosiasikan dengan ketiga syarat tersebut.

1. Menyesali atas dosa dan maksiak yang dilakukan. menyesali artinya secara sadar merasa salah telah melakukan kesalahan dari aturan dan ketetapan yang telah digariskan. hal ini berarti permintaan maaf haruslah didahului dengan rasa bersalah dan menyesali. tetapi dalam kenyataan coba kita perhatikan, apakan permintaan maaf yang kita sampaikan melalui SMS, melalui Facebbolk kartu lebaran, iklan ditelevisi atau dengan cara konvensional dengan mendatangi sanak-saudara dan langsung sungkem meminta maaf, sudah didasari oleh rasa merasa bersalah, dan menyesali apa yang pernah kita perbuat ?
tentu saja sebagian besar dari kita menjawab belum tentu, atau “ntar dulu…, minta maaf sih minta maaf, tetapi tentang masalah itu saya tetap benar… dan dia yang salah….. “
walaupun secara jelas bahwa secara aturan sosial ataupun agama yang pernah kita pelajari, tindakan yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan, tetapi sangat sulit dan sangat jarang sekali, kita sebagai makluk menyadari bahwa itu adalah kesalahan, apalagi ada pihak lain yang berseberangan dengan pendapat kita, yang secara terus menerus menyerang pendapat kita, walaupun katanya saling memaafkan..
2. Memohon ampun kepada ALLAH SWT, meminta maaf kepada manusia. kalau menyimak point kedua ini, mungkin saja permintaan maaf yang dilakukan hanyalah sebuah sarana agar taubat yang dipanjatkan dapat diterima. tetapi tentu saja permintaan maaf yang benar-benar tuluslah yang memenuhi kriteria point kedua, yang tentu saja harus didukung oleh rasa bersalah (point satu…)
3. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa atau maksiat serupa, bagaimana bisa memiliki tekad untuk mengulangi perbuatan tersebut, padahal disatu sisi tidak merasa bersalah melakukan perbuatan tersebut.
Mungkin tulisan ini terlalu mengada-ada, atau terlalu naif dalam memandang maaf dan memaafkan ini, dan tentu saja ada kemungkinan apa yang disampaikan ini terlalu berlebihan atau mungkin saja salah, tetapi tidak ada salahnya kita menelaah bagian kehidupan kita, bagian dari kebiasaan kita, apakah sudah sesuai dengan semestinya….
coba simak tulis berikut ini :

Filosofis Maaf Dalam Islam
Mimbar Jumat – Artikel Jumat
Setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Kesalahan, kekhilafan adalah fitrah yang melekat pada diri manusia. Rasulullah saw bersabda: “Setiap manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik pelaku kesalahan itu adalah orang yang segera bertaubat kepada Allah SWT”. Ini berarti bahwa namusia yang baik bukan orang yang tidak pernah berbuat salah, sebab itu mustahil kecuali Rasulullah SAW yang ma’shum (senantiasa dalam bimbingan Allah SWT). Tetapi, manusia yang baik adalah manusia yang menyadari kesalahannya dan segera bertaubat kepada-Nya.
WASPADA Online
Oleh Sugeng Wanto, MA
Setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Kesalahan, kekhilafan adalah fitrah yang melekat pada diri manusia. Rasulullah saw bersabda: “Setiap manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik pelaku kesalahan itu adalah orang yang segera bertaubat kepada Allah SWT”. Ini berarti bahwa namusia yang baik bukan orang yang tidak pernah berbuat salah, sebab itu mustahil kecuali Rasulullah SAW yang ma’shum (senantiasa dalam bimbingan Allah SWT). Tetapi, manusia yang baik adalah manusia yang menyadari kesalahannya dan segera bertaubat kepada-Nya.
Dalam Islam, mampu memaafkan kesalahan orang lain merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa (muttaqin). Allah SWT berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, Allah menyediakan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang atau sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Imran: 133-134).

Belajar Memaafkan Dari Rasulullah
Setelah pembebasan Makkah (Fardhu Makkah), dihadapan orang-orang yang selama ini gigih memusuhinya, Rasulullah berkata : “Wahai orang-orang Quraisy. Menurut pendapat kamu sekalian apa kira-kira yang akan aku perbuat terhadapmu sekarang? Jawab mereka: “Yang baik-baik. Saudara kami yang pemurah. Sepupu kami yang pemurah.” Mendengar jawaban itu Nabi kemudian berkata: “Pergilah kamu semua, sekarang kamu sudah bebas.” Begitu luruh jiwa Nabi, karena dengan ucapan itu kepada kaum Quraisy dan kepada seluruh penduduk Makkah, beliau telah memberikan amnesty (ampunan) umum. Padahal saat itu nyata mereka tergantung hanya di ujung bibirnya dan kepada wewenangnya atas ribuan bala tentara Muslim yang bersenjata lengkap yang ada bersamanya. Mereka dapat mengikis habis penduduk Makkah dalam sekejap hanya tinggal menurut perintah dari Nabi.
Dengan pengampunan dan pemberi maaf itu, jiwa Nabi telah melampaui kebesaran yang dimilikinya, melampaui rasa dengki dan dendam di hati, menunjukkan bahwa beliau bukanlah manusia yang mengenal permusuhan, atau yang akan membangkitkan permusuhan di kalangan umat manusia. Beliau bukan seorang tiran, yang mau menunjukkan sebagai orang yang berkuasa. Padahal Nabi mengenal betul, kejahatan orang-orang yang diampuninya itu. Siapa-siapa di antara mereka yang berkomplot untuk membunuhnya, yang telah menganiayanya dan menganiaya para pengikutnya. Mereka melemparinya dengan kotoran bahkan dengan batu saat mengajak manusia ke jalan Allah. Begitu pemaafnya Rasulullah sekalipun itu kepada orang yang selalu menebar permusuhan, meneror dan mengancam keselamatannya. Rasulullah begitu pemaaf, Tuhan juga Maha mengampuni kesalahan hamba-Nya. Mengapa kita manusia biasa susah sekali memberikan kema’afan?.

Filosofis Maaf Dalam Islam
Ibnu Qudamah dalam Minhaju Qashidin menjelaskan bahwa makna memberi maaf di sini ialah sebenarnya engkau mempunyai hak, tetapi engkau melepaskannya, tidak menuntut qishash atasnya atau denda kepadanya. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Quran menjelaskan: Kata maaf berasal dari bahasa Al-Quran alafwu yang berarti “menghapus” karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu didalam hati, bila masih ada dendam yang membara. Boleh jadi, ketika itu apa yang dilakukan masih dalam tahaf “masih menahan amarah”. Usahakanlah untuk menghilangkan noda-noda itu, sebab dengan begitu kita baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain.
Islam mengajak manusia untuk saling memaafkan. Dan memberikan posisi tinggi bagi pemberi maaf. Karena sifat pemaaf merupakan bagian dari akhlak yang sangat luhur, yang harus menyertai seorang Muslim yang bertakwa. Allah swt berfirman: “…Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah.” (Q.S.Asy-Syura : 40). Dari Uqbah bin Amir, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, “wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).
Al-Quran memang menetapkan, bahwa seseorang yang diperlakukan secara zalim diizinkan untuk membela diri tapi bukan didasarkan balas dendam. Pembelaan diri dilakukan dengan penuh simpati seraya menunjukan perangai yang luhur, bersabar, memaafkan dan toleran. Ketika Matsah yang dibiayai hidupnya oleh Abu Bakar menyebarkan gosip yang menyangkut kehormatan putrinya Aisyah yang juga istri Nabi. Abu Bakar bersumpah tidak akan membiayainya lagi. Tapi, Allah melarangnya sambil menganjurkan untuk memberika maaf dan berlapang dada.(Q.S. an-Nur : 22). Dari ayat ini ternyata ada tingkatan yang lebih tinggi dari alafwu (maaf), yaitu alshafhu. Kata ini pada mulanya berarti kelapangan. Darinya dibentuk kata shafhat yang berarti lembaran atau halaman, serta mushafahat yang berarti yang berarti berjabat tangan. Seorang yang melakukan alshafhu seperti anjuran ayat diatas, dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.
AlShafhu yang digambarkan dalam bentuk jabat tangan itu, menurut Al-Raghib al-Asfahaniy “lebih tinggi nilainya” dari pada memaafkan. Dalam alshafhu dituntut untuk mampu kembali membuka lembaran baru dan menutup lembaran lama.” Let’s gone be by gone (yang lalu biarlah berlalu)” bangun kembali masa depan dengan semangat yang baru. Kita selalu lupa, karena kesalahan yang telah dibuat orang lain, kita lalu melupakan semua kebaikan yang telah dibuatnya. Untuk itu, kita juga harus memperlakukan semuanya secara seimbang. Yang terbaik buat kita hari ini adalah bersama-sama membangun kembali dengan semangat baru, ketulusan hati dan semangat persaudaraan. Jangan ada yang berkata: “Tiada maaf bagimu”. Ahli hikmah mengatakan: Ingatlah dua hal dan lupakanlah dua hal. Lupakanlah kebaikanmu kepada orang lain dan lupakanlah kesalahan orang lain kepadamu. Wallahu a’lamu.