Sabtu, 04 September 2010

Petikan wawancara Bayu Sutiyono dengan Megawati (02/06/2004) Part I

BS:Jadi, kalau sekarang Ibu menggunakan media juga, Ibu bertemu dengan keluarga Nirmala Bonat, kemarin, TKW (tenaga kerja wanita) kita yang disiksa di Malaysia. Tapi, Ibu tidak merasa perlu untuk bicara atau berkunjung ke Pulau Nunukan di Kalimantan, ketika TKW kita mendapat masalah, terusir dari Malaysia. MS:Bagi saya, hal-hal seperti itu bukan suatu hal yang… Bahwa saya harus pergi ke Nunukan. Karena bagaimana pun juga, yang namanya presiden itu, tentunya juga, tanggung jawabnya, kerjanya, itu juga begitu banyak. Jadi kalau setiap saat, suatu kejadian, presiden harus berkunjung… Sedangkan sebenarnya, begitu banyak telah saya lakukan. Dalam mengoperasionalkan bagaimana cara penyelamatan, dengan melalui Departemen Perhubungan, mengirimkan kapal, mengirimkan berapa menteri." ( waduh ... kalau jadi Presiden diwajarkan yah bicara seperti ini???)

wawancara selengkapnya :
Liputan6.com, Jakarta: Diam itu emas. Peribahasa satu ini tampaknya betul-betul dicamkan dalam pribadi Megawati Sukarnoputri. Lantaran itulah dia tak mau cepat melontarkan kata-kata, terutama menyangkut persoalan yang dinilainya masih bisa ditangani bawahannya dalam jajaran Kabinet Gotong Royong. Keputusan itu rupanya diambil lantaran di satu waktu lampau, pernyataan orang nomor satu di Indonesia ini dipelintir sejumlah kuli tinta. “Saya tak mau [kejadian] itu terulang lagi,” tutur Megawati, saat berdialog secara khusus dengan reporter SCTV Bayu Sutiyono, Selasa (1/6), di Jakarta.
Namun memang, belakangan perumpamaan diam adalah emas mulai bergeser. Boleh jadi, itu dilakukan menjelang Pemilihan Umum Eksekutif yang bakal digelar pada 5 Juli mendatang. Bahkan, jauh hari sebelum masa kampanye, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menyempatkan diri bertatap muka sambil menjawab sederet pertanyaan wartawan [baca: Mega Bersedia Menjawab Pertanyaan Wartawan]. Pada peristiwa yang jarang dilakukan selama menjabat presiden itu, Mega mengatakan bahwa pemilihan presiden mendatang bukanlah sekadar persoalan menang atau kalah.
Keteguhan memegang prinsip telah menjadi jalan hidup putri sulung Presiden Pertama RI Soekarno. Sebab bagi dia, sikap itulah yang menjadikannya siap menjadi pemimpin bangsa Indonesia untuk periode lima tahun mendatang. Beragam proyeksi kinerja, visi, dan target yang hendak dilaksanakannya, dapat disimak dalam wawancara khusus pada kesempatan ini. Berikut petikannya:
Bayu Sutiyono (BS):Secara spesifik, dapatkah Ibu memberikan gambaran, apa saja keberhasilan yang Ibu lakukan selama tiga tahun belakangan ini semasa menjadi presiden RI? Apa saja menurut Ibu yang konkretnya? Megawati Sukarnoputri (MS): Satu, ya.
BS: Boleh. Kalau Ibu merasa ada dua keberhasilan. MS:Ya sekarang, yang paling konkret tentunya. Pemerintahan kami ini dapat menyelesaikan masalah yang sangat besar dan sangat substansial. Yaitu masalah BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Yang seperti Anda ketahui, ketika Keppres (Keputusan Presiden) dari pembentukan BPPN itu dibuat, yaitu dari sejak zaman Presiden Soeharto, terus berjalan, sampai ketika saya mendapatkan tugas untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Karena banyak sekali masalah yang terkait dengan masalah perekonomian, atau masalah ekonomi, itu berada di BPPN itu.
BS: Jadi, menurut Ibu, itu salah satu keberhasilan? Atau, satu-satunya keberhasilan di pemerintahan Ibu? MS:Ya, banyak sekali masalah keberhasilan. Yang seharusnya juga, Anda sudah mengetahuinya. Apakah perlu saya sebutkan satu per satu?
BS:Saking banyaknya mungkin, ya Bu? Tapi, yang di tengah masyarakat dikatakan, mereka mengakui ada beberapa keberhasilan yang dicapai pemerintahan sekarang yang dipimpin Ibu sebagai presiden. Tapi, kenapa sih Bu, kurang sampai keberhasilan itu ke telinga masyarakat. Masyarakat kurang tahu bahwa, BPPN ini, seperti Ibu katakan tadi. Menurut saya, itu sebuah pernyataan yang banyak orang yang belum mengerti. Bahwa, BPPN itu sudah dari sejak zaman Pak Harto [Presiden Soeharto], dirunut sedemikian rupa, dan di zaman Ibu selesai tugasnya dengan baik. Kenapa Bu, menurut Ibu, di pemerintahan Ibu, itu [soal BPPN] kurang sampai ke masyarakat? MS:Ya, sebetulnya juga peran media pers itu sendiri. Yang tidak mendukung. Selalu mengatakan demikian. Karena sebenarnya, mereka [pers] itu tahu persis. Dalam sidang kabinet paripurna, dalam sidang kabinet terbatas, dalam rapat terbatas yang kami lakukan, kami selalu mengadakan konferensi pers. Tapi kelihatannya, kalau hal-hal seperti itu bukan merupakan suatu hal yang menarik bagi kalangan pers sendiri.
BS: Atau, jangan-jangan persnya itu, kepengen bertemu dengan Ibu langsung. Tapi, Ibu yang kurang sreg bertemu dengan media? MS:Ya, memang pada waktu yang lalu saya sering mengatakan. Bagaimana bisa media pers itu melakukan satu komunikasi yang positif. Karena banyak sekali kalau kita lihat. Saya mempunyai file, dari pernyataan-pernyataan yang seringkali dipelintir [media massa]. Yang seringkali tidak diberi, atau quotation-nya [kutipan] itu tidak begitu baik.
BS: Misalnya, Bu? Misalnya? Apa pelintiran media yang Ibu rasa, nggak cocok? MS: Saya pernah punya satu pengalaman.
BS: Boleh bagi-bagi, Bu? MS: Ketika ada satu media yang mengatakan, saya ini sama dengan seorang yang, pada waktu itu, kerjanya itu, senang memakan bangkai.
BS: Sumanto [lelaki asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang terbukti memakan mayat], waktu itu disebutnya ya, Bu? MS: Sumanto. Bayangkan! Apakah begitu, ya? Peranan pers seperti itu.
BS: Ibu kaget waktu itu? MS: Bukan kaget. Saya hanya merasa sangat tersinggung. Karena, bagaimana suatu media pers itu sampai pada suatu taraf seperti begitu.
BS:Wajar kalau Ibu sampai begitu tersinggung. Tapi, ke belakang [bila melihat pada masa sebelumnya], bukankah Ibu juga dibesarkan oleh media di zaman Orde Baru dulu? Ketika Ibu memimpin PDI sampai ke PDI Perjuangan, dan akhirnya menjadi presiden? MS:Oh, ya. Saya memang pada waktu yang lalu, saya sangat erat dengan media pers. Karena bukan saya tidak mau, melakukan satu komunikasi. Karena tadi saya mengatakan, yang diperlukan adalah satu komunikasi yang positif. Masa saya harus selalu menerangkan, meyakinkan, bahwa apa yang saya lakukan itu sebenarnya memang benar saya lakukan dengan cara saya. Dan saya merasa yakin, itu adalah cara terbaik pada saat ini untuk dilakukan. Tetapi, ketika media pers menanggapinya dengan mempelintir atau mencari suatu momen, atau keinginan lain…
BS: Masa sih? Ibu yang begitu bermental baja ketika PDI dulu diobok-obok, dengan satu kasus dari media yang memelintir berita, Ibu sudah patah arang? MS:Saya tidak patah arang. Tapi saya hanya ingin melakukan suatu keputusan. Apakah saya hanya meladeni keadaan seperti begitu, atau saya bekerja keras karena memang beban. Yang saya pikul itu cukup berat, dalam waktu tiga tahunan yang begini singkat. Saya harus bisa banyak melakukan hal-hal yang selama itu tidak bisa diselesaikan. Seperti tadi yang saya katakan, suatu hal seperti masalah BPPN.
BS: Ooo, jadi, kapok alasannya, Bu? Karena selama ini akhirnya Ibu tidak mau bicara di media? MS: Buktinya saya sekarang bicara dengan Anda! Apa saya kapok? Kalau saya kapok, saya selama ini tidak akan berbicara.
BS: Kenapa Ibu sekarang bersahabat? Apakah karena sudah masa kampanye? MS: Ya, memang. Kampanye ini saya harus mempergunakan segala kemungkinan. Antara lain, tentunya dengan media pers. Tetapi saya juga mengatakan kepada tim sukses saya, sampai seberapa jauh juga media ini bisa mengambil momen atau kesempatan dengan saya?
BS:Jadi, kalau sekarang Ibu menggunakan media juga, Ibu bertemu dengan keluarga Nirmala Bonat, kemarin, TKW (tenaga kerja wanita) kita yang disiksa di Malaysia. Tapi, Ibu tidak merasa perlu untuk bicara atau berkunjung ke Pulau Nunukan di Kalimantan, ketika TKW kita mendapat masalah, terusir dari Malaysia. MS:Bagi saya, hal-hal seperti itu bukan suatu hal yang… Bahwa saya harus pergi ke Nunukan. Karena bagaimana pun juga, yang namanya presiden itu, tentunya juga, tanggung jawabnya, kerjanya, itu juga begitu banyak. Jadi kalau setiap saat, suatu kejadian, presiden harus berkunjung… Sedangkan sebenarnya, begitu banyak telah saya lakukan. Dalam mengoperasionalkan bagaimana cara penyelamatan, dengan melalui Departemen Perhubungan, mengirimkan kapal, mengirimkan berapa menteri. Kalau itu pun dinyatakan, sepertinya itulah bagian yang namanya memelintir dari media. Karena bagaimana pun juga, pada saat itu saya belum bisa ke sana. Lalu, apakah artiannya, saya di-force untuk pergi ke sana? Karena sebagai presiden itu tidaklah seperti orang biasa. Saya bisa datang, menjinjing tas, lalu datang ke sana. Tapi bagaimana pun juga memang ada hal-hal yang harus dilakukan oleh saya.
BS:Tapi, apakah Ibu tidak terganggu melihat, mungkin oleh media massa, terutama di media cetak kita, Presiden Filipina [Gloria Macapagal-Arroyo], menyambut dan menghibur TKW mereka, yang juga terusir dari Malaysia? Sebagai sebuah komunikasi politik? MS:Banyak hal yang saya lakukan, ketika saya menjadi wapres (wakil presiden). Kalau itu hanya untuk dijadikan komoditas di dalam pers saja. Apa yang dilakukan Presiden Arroyo, saya sangat appreciate. Saya telfon beliau, menyatakan…
BS: Ibu telfon waktu itu ke sana, ya? MS: Ya, makanya. Apa perlu saya beritakan juga, bahwa saya telfon ini, saya telfon itu? Jadi bagaimana pun juga…
BS: Tapi, ini hal yang kami baru tahu. Jadi, wajar kalau, mungkin, ada baiknya juga kalau Ibu berbicara mengenai hal-hal semacam itu, Bu. MS: Ya, kalau saya belum mau ngomong?
BS:Oke. Baik, Bu. Mudah-mudahan, tapi saya, atau media bahkan di seluruh Indonesia berharap, Ibu tidak kapok. Dan terus akan bersahabat dengan media. MS:Tergantung juga dari medianya. Kalau medianya selalu menjelekkan saya, buat apa saya mengadakan satu komunikasi dengan media itu.
BS: Partai, PDI Perjuangan yang Ibu pimpin sampai sekarang sebagai ketua umumnya disebut partai wong cilik. Tetapi beberapa kebijakannya. Bahkan ketika Ibu menjadi presidennya, beberapa kebijakannya bertolak belakang untuk membela wong cilik, seperti penggusuran. Apa tanggapan Ibu? MS:Itu satu hal saya berkeinginan media pers itu mempunyai satu latar belakang. Dan asal jangan langsung memvonis. Karena memang, meskipun saya menjadi seorang ketua umum partai. Tetapi ketika menjadi presiden maka tentunya saya harus meluruhkan kepentingan kelompok atau partai saya itu sendiri. Kalau saya sebagai presiden sekarang ingin mempergunakan kesempatan itu hanya untuk kepentingan PDI Perjuangan. Itu akan saya bisa lakukan. Tetapi hal itu tak saya lakukan. Masalah penggusuran… adalah satu hal…
BS: Tetapi, Ibu setuju tidak… MS: Nanti dulu. Ini, kan, yang saya tidak senang.
BS: Baik… Baik… MS: Ketika sedang saya bicara Anda dengarkan saya.
BS: Baik… Silakan Ibu. MS:Sebagai hal penggusuran itu juga suatu hal yang berbeda jangan disangkutkan dengan kepentingan saya sebagai ketua partai atau presiden. Penggusuran itu pun harus kita lihat sebagai hal obyektif. Karena memang banyak masalah. Yang antara lain tidak pernah dengan baik dimunculkan untuk bisa mendapatkan suatu masukan yang obyektif bahwa mengapa mereka itu tinggal. Betul mereka adalah masyarakat yang membutuhkan bantuan kita. Tetapi di satu sisi juga kita harus memberikan suatu pendidikan pada mereka bahwa untuk hidup, tinggal, dan sebagainya itu juga ada suatu peraturan yang perlu diketahui dengan baik. Dan saya kira hal-hal seperti itu sudah banyak yang mengetahui dengan baik.
BS:Tetapi Ibu waktu itu sempat mengucapkan sebuah pernyataan bahwa ini ada indikasi permainan dari kepala daerahnya. Sungguh-sungguh itu Ibu diucapkan? MS: Maksudnya apa? Saya malah tak jelas apa yang Anda katakan.
BS: Karena penggusuran waktu itu di Jakarta terjadi. Ibu mengatakan ini ada sebuah… MS: Saya tak pernah mengatakan seperti itu.
BS: Pernah sih, Ibu. Tapi begini… MS: Saya tak pernah ngomong. Siapa yang bilang seperti itu kepada Anda.
BS: Ada, kita punya catatannya Ibu. Tapi begini… MS: Catatan dari mana?
BS: Kami punya catatan atau rekamannya. Memang kami tak bisa membawanya sekarang, Ibu. Tetapi… MS: Rekaman dari siapa? Saya tidak pernah bertemu dengan Anda.
BS: Ketika ditanya, Ibu mengucapkan dampak dari… MS: Ditanya oleh siapa?
BS: Oleh wartawan. MS: Wartawan mana? Saya tidak pernah bertemu dengan wartawan. Karena waktu itu saya tak mau ngomong.
BS:Baik, Bu. Mungkin saja Ibu lupa atau bisa saja media [massa] yang lupa. Tapi begini. Ada kekhawatiran orang ketika Ibu tidak saja masalah penggusuran dan lain-lain. Tetapi ada masalah-masalah sosial dan bencana di mana kemudian Ibu tidak turun langsung sebagai presiden yang diharapkan bisa turut menghibur rakyatnya di lapangan di daerah bencana. Orang bilang, jangan-jangan Ibu tidak bisa memahami bagaimana wong cilik itu karena Ibu sudah lahir sebagai anak presiden. Tanggapan Ibu apa? MS: Hal-hal seperti ini yang memang tidak begitu saya senangi. Karena saya hanya disudutkan di suatu corner. Anda sebagai penanya itu selalu tidak memberikan suatu kesempatan kepada orang yang akan menjawab persoalan itu. Karena siapa yang akan minta ditakdirkan untuk lahir di suatu tempat. Anda pun saya kira tidak begitu juga. Jadi apa korelasinya saya harus menjawab hal itu
BS: Baik, enggak apa-apa kalau Ibu tak jawab. Sekarang boleh saya beralih sedikit, masalah Aceh. Menurut Ibu secara garis besar saja, adakah keputusan Ibu sebagai seorang presiden selama tiga tahun belakangan ini yang ternyata keputusan itu menjadi sangat penting dan sangat baik bagi bangsa dan negara kita. MS: Apa yang dimaksud dengan keputusan.
BS: Apa saja. Ibu mungkin memutuskan sesuatu bersama kabinet Ibu. MS: Coba jelaskan kembali.
BS: Atau begini, Bu. Kita ingat Ibu pernah berbicara kalau terpilih [jadi presiden] pada waktu 1999. Dengan membahasakan diri sebagai Cut Nyak waktu itu. Kalau saya terpilih… MS:Saya ingat. Makanya saya debat Anda mana yang saya ingat. Jangan bermain kata. Memang, benar… Benar… Tetapi kan saya juga akan menanyakan sekarang ini apakah proses untuk masalah Aceh itu tidak saya lakukan dengan suatu kesabaran yang tinggi. Berapa banyak perundingan yang dilakukan. Sampai saat terakhir, saya masih terus menanyakan apakah kalian [pihak Gerakan Aceh Merdeka] akan terus duduk semeja untuk melakukan suatu perundingan. Tetapi, tentunya, sebagai Presiden Republik Indonesia yang diberikan mandat untuk menjaga keutuhan wilayah republik ini. Saya juga memberikan syarat-syarat bahwa akan ada suatu perundingan dengan satu syarat bahwa yaitu kami [pemerintah] tetap menghendaki kalian [GAM] kembali sebagai warga bangsa.
BS: Itu Ibu sampaikan dan… MS: Tunggu dulu, saya sedang bicara. Yah, Anda selalu memotong.
BS: Baik, Ibu. Saya berikan kesempatan lagi kepada Ibu untuk bicara MS:Ya, tentu. Saya minta dengan Anda. Anda yang bertanya saya yang menjawab. Dengan demikian, tentunya, saya mengatakan tetapi kepentingan yang paling utama adalah menjaga wilayah Republik Indonesia. Dan, perundingan itu gagal bukan oleh delegasi kita. Tetapi oleh mereka [pihak GAM]. Mereka mengatakan, mereka tidak akan bersatu dan akan mengangkat senjata.
BS:Ibu sampaikan itu… kepada masyarakat Aceh secara kontinyu, secara terus-menerus. Ibu, misalnya, berbicara langsung kepada tokoh masyarakat Aceh. MS:Oh, iya. Saya beberapa kali didatangi oleh kalangan tokoh masyarakat [Aceh]. Yang saya katakan bahwa kalau untuk keutuhan negara Republik Indonesia tidak ada jalan lain. Sebagai presiden, saya harus melakukan dan itu bukan untuk Aceh saja. Untuk seluruh wilayah republik kita.
BS: Waktu itu Ibu juga pernah bicara di Masjid Raya (Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, September 2001–Red) [baca: Interupsi Mewarnai Pidato Megawati di Aceh]. Sebetulnya banyak yang sangat salut dengan keputusan Ibu untuk berkunjung ke Aceh. Tetapi ketika Ibu kemudian ada pertanyaan dari mahasiswa pada saat itu, Ibu malah kelihatan marah. Kenapa sih, Bu, waktu itu? MS: Karena mahasiswanya tidak sopan.
BS: Menurut Ibu? MS: Bukan menurut saya, semua orang juga mengatakan seperti itu.
BS: Ibu berkeberatan kalau mahasiswa berdialog karena mereka pasti ingin berdialog dengan Ibu? MS:Tentu saja, tapi dialog itu tentunya dengan suatu cara. Dengan cara yang sopan santunnya ada. Saya adalah tamu di situ. Saya diundang. Dan, kalau saat itu lalu diajukan pertanyaan. Bayangkan di masjid bertanya seperti itu. Saya, kan, juga…
BS: Kok, Ibu merasa sebagai tamu di Aceh? MS: Bukan, saya diundang untuk datang ke masjid. Itukan sebagai tamu karena di masjid itu ada imam besarnya.
BS: Mereka kan semua rakyat dari ibu? MS: Oh, ya memang.
BS: Anak-anak dari Ibu. MS: Betul.
BS: Tidak boleh mereka bertanya seperti itu? MS: Boleh, tetapi bukan dengan sikap seperti itu. Kita ini adalah bangsa yang berbudaya.
BS: Tapi itu bukan menjadikan Ibu jadi takut berdiskusi atau mendapat pertanyaan atau kritik di muka umum? MS: Selama saya menjadi presiden kini yang ada yang saya terima adalah kritik.
BS: Maaf, apakah Ibu seseorang yang gampang marah, Bu? MS: Menurut Anda.
BS: Kalau sampai sekarang sih tidak. Tetapi kalau… MS: Tidak perlu didialogkan hal itu.
BS:Saya pindah lagi ke topik lain. Ini berdekatan dengan Pemilihan Presiden 5 Juli mendatang. Apa Ibu merasa presiden yang cakap? Maksudnya saya begini, Ibu. Kita pernah punya, ayah Ibu sendiri Soekarno, presiden yang sangat dikenal di dunia internasional. Soeharto yang otoriter dan Habibie yang sangat mengerti teknologi. Kalau Ibu, apa? Presiden yang bagaimana menurut Ibu dan menjadi kelebihan Ibu dibanding calon presiden yang lain yang ada saat ini? MS: Pertanyaan aneh menurut saya itu. Karena mana mungkin saya membicarakan diri saya sendiri.
BS: Ibu merasa tak mempunyai kelebihan dibanding calon presiden lain? MS: Biarlah rakyat yang menilai.
BS:Baik. Tapi, selain Ibu sebagai seorang wanita dibanding calon presiden yang lain. Ibu merasa apa modal Ibu ketika Ibu maju sebagai kandidat presiden kali ini. MS:Saya tidak maju sendiri, Saya diputuskan oleh kongres partai [Kongres PDIP]. Dan, itu sampai dua kali. Berarti bahwa mandat dari bagian rakyat Indonesia yang menjadi anggota dari PDI Perjuangan memberikan suatu kepercayaan kepada ketua umumnya. Jadi bukan kepada saya pribadi, tetapi kepada ketua umumnya untuk ditetapkan sebagai calon presiden. Dan mandat itu… adalah penugasan partai, tentunya harus saya terima.
BS: Jadi Ibu yakin bisa memenangkan Pemilu Presiden tahun ini? MS: Oh, saya tetap terus berjuang. Saya optimis [optimistis].
BS:Apa dasar Ibu untuk optimis? Mesin politik Ibu yang cukup kuat karena Ibu memerintah saat ini? Uang? Atau nama besar Soekarno yang masih ada di belakang nama Ibu? MS: Bapak saya memang seorang yang besar. Dia adalah seorang proklamator. Tapi juga saya kira jangan dong selalu. Kenapa sih… Tidak fair menurut saya. Kalau sepertinya apa yang saya capai itu karena nama besar ayah saya. Tadi saya tegaskan bahwa ayah saya seorang yang besar. Dia membuat republik ini. Dan, tadi juga saya katakan apakah ada yang bisa menggugat kalau saya ditakdirkan untuk menjadi anak beliau. Jadi itu suatu hal yang lain. Dan, masalah keberhasilan saya itu tendangan kerja keras. Bukan oleh saya saja. Tapi oleh seluruh mereka yang mendukung saya, orang-orang, kader-kader partai yang ada, yang terus membantu sampai sekarang dengan semangat juang yang tinggi. itulah idealisme yang saya miliki.
BS:Baik, Ibu terima kasih waktunya bersama kami [SCTV]. Saya tahu Ibu cape, dan masa kampanye masih berlanjut, Dan saya ucapkan selamat berjuang untuk Ibu. MS: Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar